Monday 3 August 2009

Resensi Buku Baru | Di Bawah Cengkeraman Asing

Judul Buku : Di Bawah Cengkeraman Asing
Penulis : Wawan Tunggul Alam
Penerbit : Ufuk Publishing House
Tebal : 224 Halaman
Terbit : Juli 2009
Harga : Rp34.900

Dalam Belenggu Modal Asing

MASIH segar diingatan kita ketika mencuatnya isu neoliberalisme pada masa kampanye pemilihan umum (Pemilu) presiden beberapa waktu lalu. Wacana neoliberalisme terus menggelinding bak bola salju dan menjadi perbincangan hangat.

Politikus, ekonom, dan pengamat begitu bersemangat menyampaikan argumennya. Tentunya lengkap dengan teori, data, dan analisis, yang begitu njelimet dan disampaikan dengan bahasa langit.

Masyarakat yang melek informasi dan terdidik boleh jadi memahami secara baik. Namun, bagi sebagian masyarakat lainnya, sosok neoliberalisme tampak samar, bahkan ada yang merasa aneh mendengarnya.

Sesungguhnya makhluk apa sih neoliberlisme itu, sehingga sampai begitu mengegerkan. Apakah kehadirannya sudah dengan dan ancamannya begitu berbahaya, sampai-sampai ada begitu banyak orang yang menolaknya.

Untuk memahami kehadiran neoliberlisme dan melihat kehadirannya secara nyata, buku Di Bawah Cengkeraman Asing karya Wawan Tunggul Alam layak dijadikan referensi. Buku mungil setebal 224 halaman yang diterbitkan Ufuk Publishing House menjelaskan secara sederhana fenomena neoliberalisme dengan fakta-fakta yang mudah dilihat mata awam.

Misalnya dengan memaparkan maraknya pusat perbelanjaan modern yang sekarang begitu menjamur dan sering dijadikan simbol sebagai gaya hidup masyarakat modern. Padahal itu semua adalah milik perusahaan dari negara asing yang keuntungannya pun pasti disetorkan ke negara asalnya.

Dengan bahasa yang lebih membumi penulis mencontohkan dalam kehidupan sehari-hari, sejak bangun tidur sampai tidur lagi, semua produk yang digunakan rakyat Indonesia kepemilikan modalnya telah dikuasai asing. Mulai dari air minum mineral, teh, susu, sabun mandi, hingga rokok. Bahkan rumah yang kita tempati menggunakan semen yang dibuat perusahaan asing.

Mungkin awalnya kita tak akan percaya karena nama perusahaannya bernuansa Indonesia . Apalagi, dulunya didirikan oleh pemerintah dan dikelola oleh negara sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Padahal, sekitar 75% bahkan ada yang 100% sahamnya kini sudah dimiliki perusahaan asing, seperti perusahaan telekomunikasi dan perbankan.

Penulis secara apik memaparkan bahwa sebenarnya tanpa disadari neoliberalisme sudah begitu merasuk ke sendi kehidupan masyarakat. Sampai-sampai ketergantungannya begitu besar, sehingga sulit untuk melepaskan diri dari belenggu tersebut.

Bukan hanya berdasarkan fenomena tersebut, penulis yang jebolan sarjana hukum ini secara lugas menjelaskan secara terstruktur bahwa kondisi ini terjadi akibat banyaknya produk hukum yang begitu mudah dikeluarkan agar arus modal asing bisa leluasa masuk ke Indonesia . Padahal produk hukum itu bertentangan dengan konstitusi negara, sehingga secara tak langsung penulis menyinggung betapa serampangannya negara ini dikelola.

Jadi pembaca yang awam sekalipun bisa memahami mengapa kehidupan mereka sepertinya selalu dihadapi kesulitan ekonomi. Karena untuk menentukan harga listrik, bahan bakar minyak (BBM), dan telepon, ternyata pemerintah sering dalam posisi yang lemah. Padahal sesuai konstitusi negara bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya dan produk-produk yang berguna untuk kepentingan hajat hidup orang banyak dikuasai negara.

Dijamin begitu membaca buku ini, Anda akan geram, geleng-geleng kepala, sekaligus malu. Betapa berbagai sendi kehidupan negeri yang sudah merdeka selama 64 tahun, ternyata perekonomiannya masih dalam belenggu asing.

Namun, dijamin juga, kita tak akan berani menolak atau minimal tidak menggunakan produk milik asing karena tingkat kecanduan (ketergantungan) kita yang tinggi. Atau, malah kita sudah lupa dan tak bisa membedakan lagi, mana perusahaan milik bangsa sendiri dengan perusahaan modal asing. (wasis wibowo)

No comments:

Post a Comment