Tuesday 11 August 2009

Resensi Buku Baru | Bulan Lebam di Tepian Toba

Judul Buku : Bulan Lebam di Tepian Toba
Penulis : Sihar Ramses Simatupang
Penerbit : Kakilangit Kencana
Tebal : 256 Halaman
Terbit : Juni 2009


Konflik, Cinta, dan Tradisi di Toba

MEMANDANG purnama yang mengapung di atas langit dan cahayanya yang terpantul di atas Danau Toba, menghadirkan perasaan eksotis sekaligus magis. Bayangan rembulan yang mengambang di air dan meliuk-liuk mengikuti alunan gelombang seolah tarian Tortor yang ritmis. Pepohonan di atas bukit yang berayun-ayun mengikuti tiupan angin, bak lambaian leluhur yang memanggil keturunannya menjaga kejayaan masa lalu.

Seorang pemuda, Hamonangan seakan tersedot ke masa kecil dan remajanya di sebuah huta (desa) di pinggiran Danau Toba. Keriangan bersama kakak tercinta Hagandaon bermain di hutan kembali hadir. Kenangan bersama ayah dan ibunya yang tak lupa bertutur tentang garis keturunan leluhur mereka dari susunan tulang di Simin, mencuat kembali dari benaknya.

Delapan tahun merantau ke Jakarta telah membuatnya nyaris dilupakan dan dianggap mati karena tak pernah berkirim kabar. Namun, kepulangannya pun tanpa kebanggaan, sebaliknya sebagai lelaki yang tersingkir oleh kerasnya alam perantauan. Kepulangannya dibenci sekaligus dirindukan, apalagi semua kenangan indah di hutanya sudah menguap bersama waktu.

Dia dihadapkan pada konflik yang tengah dialami keluarganya dengan seorang pimpinan preman. Bukan hanya tanah leluhurnya yang hilang, sang kakak pun telah jadi korban sehingga iparnya menjanda. Padahal dia kembali dari Jakarta untuk menghindari konflik tekanan politik yang dialaminya. Tradisi menuntutnya sebagai anak lelaki yang paling tua –setelah kakaknya meninggal- menanggung semua untuk menyelesaikannya.

Pergulatan batin, konflik sosial, dan keharusan menjunjung nilai-nilai tradisi, menjadi tema utama novel Bulan Lebam di Tepian Toba karya Sihar Ramses Simatupang. Novel setebal 256 halaman yang ditertibkan Kakilangit Kencana ini juga dibalut kisah cinta dan nuansa budaya masyarakat di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara.

Gaya penuturan novel ini begitu mengalir sehingga menarik mengikuti alur kisahnya. Pengetahuan penulis akan budaya dan tradisi masyarakat Danau Toba membuat nuansa tanah Tapanuli tergambar secara apik. Ditambah penggunaan istilah asli dan bahasa Batak, hal itu memperkaya cakrawala kita tentang adat istiadat masyarakat Toba.

Pendalaman tokoh-tokoh utama cukup detail dan terhubung secara mengalir. Hanya saja penggambaran tokoh-tokoh protagonis kurang detail. Seperti sosok Hotman yang dikenal sebagai pemimpin kelompok preman begis atau Impal seorang kepala desa yang tamak serta doyan kawin kurang mendapat porsi yang cukup.

Secara keseluruhan novel ini menarik, tak sekadar menyajikan nuansa berbeda, juga mengangkat konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Ditambah bagiamana sebuah tradisi yang berakar kuat membentuk karakter dan budaya masyarakatnya. Hal itu membuat pembaca bisa memahami bila akhirnya, tokoh utama dalam novel ini harus patuh pada nilai tradisi yang kuat.

Bagaimana Hamonangan bisa memenangkan takdirnya yang seakan ditulis dalam tangan nasib dan tradisi. Apakah dia bisa memandang kembali rembulan yang eksotis dan magis dari huta tercintanya di tepi Danau Toba? Anda layak mengikutinya dalam novel ini. Resensi buku baru merekomendasikan novel ini sebagai bacaan yang menari. (wasis wibowo)

No comments:

Post a Comment