Wednesday, 2 September 2009

Resensi Buku Baru | Gunung Makrifat


Judul : Gunung Makrifat
Penulis : Tri Wibowo
Penerbit : Kakilangit Kencana
Tebal : 287 Halaman
Terbit : Juni 2009

Pendakian Sufi Mengenal Tuhan

SEORANG lelaki merasa begitu sepi di kamar kontrakannya yang berada di tengah Kota Jakarta yang hiruk pikuk. Rutinitas pekerjaannya setiap hari tak mampu mengusir kesepian yang membekap dirinya. Mengunjungi berbagai tempat hiburan yang ingar bingar pun tak mampu membangkitkan kegairahan dirinya.

Sepi malah membawa pikirannya melayang mengenang masa kecilnya di desa, kenangan kepada kedua orangtua, dan juga perempuan-perempuan yang pernah singgah di hatinya. Namun, semua membuat hatinya semakin senyap dalam ke sendirian.

Keputusannya untuk mendaki gunung, akhirnya mampu sedikit membangkitkan gairah hidupnya kembali. Di ketinggian puncak gunung yang dingin, hanya ditemani lambaian pepohonan, dan kicau burung, dia merasakan keriangan. Dalam keheningan di puncak gunung dia kembali menemukan semangat menjalankan hidup, sekaligus mengenal kebesaran Sang Pencipta.

Pertemuannya dengan lelaki sederhana bernama Ali menambah besar hasratnya mendekatkan diri kepada Sang Penguasa Alam Semesta. Dia menjadi gandrung dengan berbagai ilmu agama, ajaran sufi, teori filsafat, dan berbagai tarekat untuk benar-benar mengenal kepada Tuhan.

Demikian rangkaian kisah yang tertuang dalam Novel Gunung Makrifat, Memoar pencari Tuhan yang ditulis Tri wibowo BS. Buku setebal 278 halaman yang diterbitkan Kakilangit Kencana mengajak kita mengikuti petualangan di alam bebas dan petualangan batin yang kaya dengan berbagai hikmah.

Dengan alur yang sederhana, membuat kita fokus mengikuti jalan cerita, pengalaman ruhiah, dan pemikiran-pemikiran yang mampu membuka cakrawala. Karena dalam novel ini penuh berisi dialog-dialog yang cukup ‘berbobot’ tentang kehidupan dan tuhan, pergolakan batin dan pemikiran intektual.

Hal itu terlihat dari kemampuan penulis menempatkan berbagai pandangan Kaum rasionalis, seperti Descrates dan Aristoteles tentang adanya satu tuhan atau sikap
Immanuel Kant yang menolak pembuktian akal soal tuhan. Semua menjadikan dialog dan perdebatan tentang tuhan dalam sudut pandang filsasat menjadi menarik.

Belum lagi ditambah kemampuan membuat dialog tentang kehidupan, kematian, dan karma dari berbagai kisah. Seperti Gautami dan anaknya yang begitu meyakini adanya karma atau kisah Putri Savitri yang mampu mengubah takdir karena ketulusannya.

Namun, novel ini tak jatuh menjadi bacaan yang berat dan membuat kepala berkerut-kerut mengikutinya. Penulis pun mampu mengombinasikan dengan melukiskan keindahan berbagai perjalanan meniti sejumlah puncak gunung yang indah.Seperti keindahan taman edelweiss di Alun-Alun Mandalawangi, Gunung Pangrango. Atau dinginnya kabut di Puncak Hargo Dumilah, Gunung Lawu maupun Lereng Gunung Tidar.

Pengetahuan penulis tentang musik pun membuat novel ini semakin kaya. Penulis menjabarkan keindahan alunan komposisi Moonlight Sonata dan Fur Elise milik Beethoven. Termasuk berbagai pandangan tentang musik dalam Islam dari Tarekat Chistiyyah atau tentang tarian ritual Rumi.

Hanya saja kombinasi yang apik tentang perjalanan untuk mengenal kebesaran Tuhan terasa ambigu karena sosok pemuda pendaki gunung begitu melonkolis dan mudah rapuh. Dia begitu mudah berpindah hati hanya dengan melihat sosok perempuan yang cantik, macam Silvia. Namun, tetap tak bisa melupakan kenangan kepada perempuan yang pernah dipuja dalam sosok Nana atau Maya.

Padahal dalam berbagai perjalanan dan pendakian, dia banyak menemukan pengalaman tentang Tuhan dan kehidupan yang begitu luar biasa. Seharusnya dia menjadi sosok yang tangguh dan mampu bangkit dari kesepian jiwa. Apalagi diakhir kisah, petualangan sang pendaki gunung ini seperti larut dalam kisah roman-roman picisan. (wasis wibowo)

No comments:

Post a Comment