Saturday, 19 September 2009
Resensi Buku Baru | Api Sejarah
Judul : Api Sejarah
Penulis : Ahmad Mansur Suryanegara
Penerbit : Salamadani
Tebal : 584 Halaman
Terbit : Juli
Mengungkap Fakta-Fakta Sejarah yang Terlupakan
MENELUSURI jejak sejarah, baik sejarah bangsa Indonesia dan dunia, jarang sekali terjadi atau ditemukan sesuatu yang mengejutkan. Semua seakan sudah ditulis begitu sempurna, lengkap, dan objektif sehingga tidak ada ruang untuk sekadar interupsi. Apalagi jarang terdapat buku-buku atau bahan pembanding untuk menguji sejarah yang telah dicatatkan dan dituturkan bertahun-tahun lamanya.
Alhasil, seperti kata Bung Karno dalam surat dari Endeh yang dimuat dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi Djilid I, selama ini kita “hanya mampu membaca abunya sejarah, tapi tidak dapat menangkap apinya sejarah.” Kita mungkin tahu dan hapal hari kemerdekaan, kebangkitan nasional, nama-nama para pahlawan. Namun, jarang mampu memahami makna dan fakta yang menggelora dalam sebuah peristiwa sejarah serta tokoh-tokoh di dalamnya.
Jadi tak usah heran dalam peringatan peristiwa sejarah penting lebih terasa hanya menjadi ajang seremonial dan agenda tahunan. Para pahlawan yang telah berjuang mengorbankan jiwa dan raga, hanya dihafal nama-namanya. Sejarah lebih sering dianggap sebagai kisah masa lalu, daripada sebuah perjalanan yang berkesinambungan untuk meraih kejayaan di masa depan.
Karena itu, perlu pemahaman untuk bisa lebih memaknai secara mendalam sebuah semangat dan cita-cita luhur di balik sejarah sebuah bangsa. Untuk itu, dimungkinkan pula adanya koreksi, untuk tetap menjaga makna cita-cita luhur di dalamnya sehingga sejarah bisa dijadikan perjalanan yang berkesinambungan sebuah bangsa untuk meraih kejayaan di masa depan.
Itu pula semangat yang ingin disampaikan dalam Buku Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara yang diterbitkan Salamadani. Buku setebal 584 halaman ini bukan buku sejarah biasa karena menampilkan fakta-fakta menyengat yang jarang terungkap dalam buku sejarah kebanyakan.
Buku ini memang mengupasnya dari sudut pandang bagaimana pengaruh Islam dan ulama dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Namun, akan terlalu berlebihan jika menuding buku ini hanya menonjolkan peran satu golongan. Sebab, buku ini mengajak kita untuk bersedia mengoreksi dan meletakkan fakta-fakta yang belum terungkap secara proporsional.
Dari hal yang paling sederhana, misalnya tentang kapan masuknya Agama Islam ke Indonesia. Menurut Prof Dr Buya Hamka dan KRH Abdullah bin Nuh, Islam sebenarnya sudah masuk nusantara pada abad ke-7. Bukan abad ke-13 dan setelah runtuhnya kerajaan-kerjaan Hindu dan Buddha seperti banyak ditulis dalam buku sejarah.
Sebab, pada abad ke-7 berdasarkan Berita China Dinasti Tang sudah ada masyarakat di pesisir barat Sumatera yang beragama Islam dan ditemukannya nisan ulama Syaikh Mukaiddin di Baros, Tapanuli. Dan, keruntuhan kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha bukan akibat dominasi kerajaan Islam, misalnya Kerajaan Majapahit hancur setelah diserang Raja Girindrawardhana dari Kediri bukan oleh Kerajaan Demak.
Fakta-fakta yang lebih menyengat dan dilupakan tentang sejarah perjuangan organisasi Islam dalam sejarah kebangkitan sampai kemerdekaan, juga diungkap secara gamblang. Istilah nasionalisme dan Indonesia merdeka sebenarnya pertama kali diperkenalkan oleh Central Sjarikat Islam (CSI) pada kongres nasional pertama di Bandung pada 1916.
Lalu, mengapa Hari Lahir Boedi Oetomo ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Padahal menurut MR AK Pringgodigdo dalam buku Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Boedi Oetomo dalam Kongres di Surakarta pada 1928 menolak cita-cita persatuan.
Buku ini layak diapresiasi sekaligus diuji fakta-fakta yang disajikan. Tentunya bukan mencari siapa yang benar dan salah. Lebih penting adalah meletakan fakta-fakta sejarah secara proporsional agar api semangat dan cita-cita luhur para pahlawan terus dilanjutkan untuk kejayaan Indonesia. (wasis wibowo)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment