Friday, 4 September 2009
Resensi Buku Baru | Divine Madness
Judul : Divine Madness, Sketsa Biografi Sastrawan ‘Gila’
Penulis : Tri Wibowo BS
Penerbit : Kakilangit Kencana
Terbit : Juni 2009
Tebal : 260 Halaman
Kegilaan dan Kreativitas Sastrawan Terkenal
NOVELIS abad ke-19 George Sand mengatakan, batas antara kegeniusan dan kegilaan tak lebih besar dari sehelai rambut. Bahkan Aristoteles pernah menyebutkan tak ada kegeniusan besar yang tidak tersentuh kegilaan.
Tak heran bila sebagian besar filsuf Yunani kuno beranggapan sebuah proses kreatif pasti melibatkan kemunduran proses mental (regresi). Seperti kata Socrates, seorang penyair tak akan bisa mencipta kecuali dia kehilangan akal dan mendapat ilham.
Jadi, secara tak langsung mereka pun mengakui bahwa kegilaan ilahiah (divine madness) sebagai berkah para dewa sebagai sumber inspirasi. Kita –masyarakat awam- pun seolah memahami dan memberi toleransi bila melihat para sastrawan, seniman yang berperilaku aneh. Misalnya, berambut gondrong, penampilan kumuh, dan bertingkah aneh. Bahkan perilaku seperti itu sering dianggap sebagai eksentrik.
Secara umum, kita pun suka atau terpesona pada orang-orang yang genius dan eksentrik. Bukti itu bisa ditunjukkan dengan bagaimana kita sering mengagumi karya sastrawan atau seniman macam, Vincent van Gogh, Kurt Cobain, Virginia Wolf, Ernest Hemingway, sampai Chairil Anwar. Sekalipun mereka punya sikap yang aneh, seperti Van Gogh memotong telinganya dan diserahkan kepada pelacur yang dicintai atau Kurt Cobain yang meninggal bunuh diri.
Dalam buku Divine Madness, Sketsa Biografi Sastrawan ‘Gila’ karya Tri Wibowo BS diungkap sisi gelap para sastrawan terkenal dunia. Buku yang diterbitkan Kakilangit Kencana setebal 260 halaman ini tak sekadar menyajikan keesentrian para sastrawan tersebut, juga menampilkan kisah tragis dari sekitar 65 sastrawan hebat dunia.
Mulai dari Horace sampai Alexandre Dumas, kisah tragis Sadeq Hedayat sampai kegilaan Yukio Mishima. Atau Friedrich Nietzsche yang mengalami depresi mental sampai kisah Franz Kafka yang selalu gagal dalam cinta dan meninggal digerogoti penyakit TBC. Ada juga kehidupan misterius sastrawan perempuan macam Emiliy Dickinson sampai Virginia Wolf yang mengalami penyimpangan seksual hingga mengalami depresi berat.
Buku ini memaparkan sisi gelap kehidupan para sastrawan yang dikenal sangat kreatif. Bahkan karya-karyanya begitu melegenda dan menjadi avant garde yang dikenang sampai sekarang. Siapa yang tak kenal dengan konsep Carpe Diem (Nikmati Hari Ini) dalam sajak Horace.
Begitu juga dengan Novel The Three Musketeers karya Alexandre Dumas sehingga diangkat ke layar lebar dan memopulerkan frase All for one, one for all. Juga diungkap bagaimana kondisi kesehatan, mental, dan kehidupan yang dialami begitu mempengaruhi para sastrawan melahirkan karya-karya besarnya.
Misalnya Kafka dalam membuat cerpen Die Vervandlung (Metamorfosa) yang mengekspresikan alienasi manusia banyak dipengaruhi oleh kondisi kesehatannya. Ada pula Friedrich Nietzsche yang kehidupannya begitu tertekan dan mengalami depresi melahirkan, mewujudkan gagasan filosofi terkenal dan provokatif tentang “Tuhan telah mati” dalam bukunya berjudul Ubermensch (Manusia Super).
Namun, apakah setiap kreativitas harus berasal dari sisi gelap manusia? Itu masih harus diperdebatkan. Walaupun fenomena kegeniusan dan kegilaan tidak bisa disebut sebagai fenomena yang kasuistik.
Paling tidak buku ini menarik untuk dijadikan pelajaran, bagaimana manusia mendobrak batas-batas dalam dirinya untuk melahirkan karya hebat. Juga, tentang bagimana manusia ternyata begitu rapuh menghadapi kehidupannya yang gamang. (wasis wibowo)
Labels:
Buku Baru,
Buku Sastra,
Divine Madness,
Kakilangit Kencana,
Resensi Buku
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment