Monday 30 November 2009

I Can (Not) Hear | Resensi Buku Baru


Judul : I Can (Not) Hear
Penulis : Feby Indirani & San C Wirakusuma
Penerbit : Gagas Media
Tebal : 352 Halaman
Terbit : Oktober 2009

Perjuangan untuk Mendengar

MELIHAT penampilan Gwendolyne membawakan serangkaian puisi secara lancar, riang, dan penuh ekspresi, tampak dia anak perempuan yang cerdas dan menyenangkan. Puisi berbahasa Inggris dia ucapkan secara lancar dengan aksen yang sempurna, hanya suara denging sound system yang sesekali menginterupsi konsentrasinya.



Begitu Gwen –sapaan Gwendolyne- selesai membacakan puisi, tepuk tangan puluhan hadirin yang memenuhi ruang auditorium Gedung Baru Universitas Atma Jaya, Jakarta. Ada rasa kagum dan haru melihat penampilan anak perempuan berusia 10 tahun yang ceria dan berwajah lucu ini. Dia pun ramah berbincang-bincang dengan sejumlah orang yang meminta tanda tangan dan foto bersama seusai peluncuran buku I Can (Not) Hear pekan lalu.

Betapa tidak, dalam buku I Can (Not) Hear yang ditulis oleh ibunya San C Wirakusuma bersama Feby Indirani diungkapkan bahwa Gwen terlahir dengan kondisi yang tidak sama seperti bayi lainnya. Gwen yang lahir di Hongkong, pada usia sekitar enam bulan diketahui mengalami gangguan pendengaran dalam berat.

Sebagai ilustrasi tentang kondisi pendengaran Gwen, berdasarkan hasil serangkaian tes yang dijalani, telinganya tak mampu menangkap suara yang berkekuatan 100 desibel. Itu sama artinya jika dia diletakan di samping sebuah pesawat yang hendak tinggal landas, telinganya tak bisa menangkap gemuruh suara mesin pesawat itu.

Kenyataan ini seakan merampok kebahagiaan kedua orangtua Gwen –pasangan San C Wirakusuma dan Johnwei- yang begitu menginginkan kehadiran seorang anak. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan kedua orangtua yang melihat anaknya tak mampu mendengar suara mereka. Parahnya, bila kondisi ini dibiarkan, maka sang anak akan kesulitan berkomunikasi saat tumbuh dewasa. Karena sejak kecil tak bisa merekam suara orang di sekitarnya.

Dalam buku setebal 352 halaman yang diterbitkan Gagas Media, dituturkan secara apik perjuangan kedua orangtua Gwen agar anaknya bisa mendengar dan tumbuh normal seperti anak-anak lainnya. Meski dunia seakan runtuh, keduanya dengan segenap kesungguhan mencari pengobatan bagi anaknya. Dengan satu harapan Gwen bisa mendengar secara normal.

Akhirnya diperoleh jalan keluar, yaitu dengan cangkok seperangkat eletronik ke dalam rumah siput telinganya atau dikenal dengan cochlear implant. Namun, masalah belum berakhir. Gwen yang menerima implant saat berusia 1,5 tahun tak langsung bisa mendengar secara normal dan setelah setahun dia hanya bisa mengeluarkan dua suku kata e, i, dari mulutnya.

“Meski sudah diimplant, setiap suara yang ditangkap Gwen hanya seperti sinyal. Jika saya mengucapkan Daddy, maka yang dia dengan hanya beep, beep. Jadi perlu adaptasi lama dan melatih ribuan kata untuk bisa direkam. Setelah setahun diimplant ketika dia memanggil saya e, i, (Daddy) itu adalah suara terindah dan tak pernah saya lupakan seumur hidup,” ujar ayahnya menceritakan pengalamannya saat acara bedah buku itu.

Setelah bertahun-tahun Gwen mulai bisa mendengarkan dan berbicara secara normal, meski harus menggunakan bahasa Inggris. Itu karena sejak kecil Gwen dilatih mendengar bahasa Inggris sehingga kemampuan komunikasinya menggunakan bahasa Inggris. Makanya, ketika membacakan puisi dengan bahasa Inggris, aksennya begitu sempurna.

Buku I Can (Not) Hear layak Anda baca karena mengisahkan perjuangan kedua orangtua Gwen agar anak bisa mendengar. Bukan hanya kisah mengharukan, terpenting buku ini mengungkapkan upaya tak kenal menyerah dan bercurah kasih sayang untuk kebahagiaan buah hatinya. Banyak pengalaman menakjubkan yang bisa menjadi pelajaran kita semua dalam buku ini. (wasis wibowo)

2 comments:

  1. Saya sudah pernah baca novel ini dan memang bagus

    ReplyDelete