Monday, 16 November 2009
Resensi Buku Baru | Galaksi Kinanthi
Judul Buku : Galaksi Kinanthi
Penulis : Tasaro GK
Penerbit : Salamadani
Tebal : 432 Halaman
Terbit : 2009
Menakar Cinta, Menembus Cita
TASARO GK dengan suara yang datar mengatakan, novel karyanya sampai November 2009 ini sudah dicetak sebanyak tiga kali. Ketika berkunjung ke kantor redaksi Seputar Indonesia (SI) di suatu sore dia pun langsung menyodorkan novel kebanggaannya, Galaksi Kinanthi. Bukunya cukup tebal berisi sekitar 432 halaman dan sampul depan bergambar sesosok perempuan di atas kapal menatap purnama dengan latar belakang patung liberty dan gedung-gedung bertingkat.
Ketika dibalik, ternyata sampulnya memiliki dua sisi berbeda dan terlipat apik. Di sisi dalam ada sosok lelaki yang berdiri di atas geladak kapal. Letaknya tak jauh dari sosok perempuan pada sampul muda. Di sisi lain, tergambar seorang lelaki berbaring di padang rumput sedang memandang purnama yang sama. Ide yang unik dan nyentrik.
Beberapa nama kondang penulis, seniman, dan sutradara tanah air pun menghiasi sampul depan dan belakang. Mulai Dewi “Dee” Lestari sampai Helvy Tiana Rosa, dari Gola Gong hingga Imam Tantowi, memberikan sanjungan untuk Galaksi Kinanthi. Saat melangkah ke daftar isi, saya mendapatkan judul-judul yang tak biasa namun sederhana.
Bertengger di daftar pertama Virgo (Sang Perawan), berturut-turut ada Cancer (Kepiting), Leo (Singa), Lyra (Dawai). Ada Crux (Layang-layang), Pavo (Merak), Pengasus (Kuda Terbang), Ara (Altar), dan terakhir Perseus (Pahlawan). Semua ada 16 judul dengan penamaan yang unik mengambil kata-kata dalam mitologi Yunani.
Sepintas, setelah melihat penampilan luar yang menarik, cukup membetot keinginan saya untuk memulai mengarungi lembar-lembar Galaksi Kinanthi. “Begini cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta”, begitu membaca kalimat pertama yang tersaji, saya menebak ini novel tentang cinta atau seseorang yang mempertanyakan cinta.
Tak terlalu meleset, sebab selanjutnya saya seperti dihamburi kalimat puitis bercita rasa futuristik dan imajinasi yang mengalaksi. “Berkasih mesra dengan konstelasi Crux. Sejari telunjuk dari rasi bintang Centaurus dan Musca…Di sana hidup para hati yang terjebak dalam ruang tunggu tanpa tepi waktu”.
Pada bagian pertama kita dipertemukan dengan tokoh utama yang bernama Prof Kinanti Hope. Perempuan yang matang berusia sekitar 27-28 tahun, cerdas, cantik, berasal dari Indonesia. Dia begitu serius berdiskusi dengan Zhaki, lelaki modern, tampan, seorang editor penerbitan sukses di New York, berasal dari Tibet.
Pada bagian kedua, kita ditarik dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Gunung Kidul, Yogyakarta, yang masih tradisional. Di sini bertemu dengan Kinanti kecil yang menggendong adiknya menemani Ajuj, anak lelaki berusia 12 tahun, berburu kepiting. Seperti anak desa kebanyakan, Ajuj kulitnya kecokelatan, baik hati, dan senang mendendangkan Kinanthi.
Bab selanjutnya, mulai mengalir keterikatan Kinanthi dan Ajuj, sampai konflik yang pelik khas masyarakat pedesaan yang miskin, lugu, namun tetap menyimpan cita-cita. Kita disuguhkan kisah ‘pengembaraan’ Kinanthi untuk mengangkat harkat dan derajat keluarganya di desa yang miskin dan susah. Perjalanan dari Gunung Kidul, ke Bandung, Jakarta, Arab Saudi, Kuwait, sampai akhirnya mengantar Kinanthi ke Amerika Serikat.
Penderitaan, kepedihan, dan nestapa yang dialami Kinanthi menjelma menjadi tempaan dirinya menjadi seorang perempuan cerdas, cantik, dan mapan. Sampai akhirnya dia begitu ingin kembali ke desanya dan berusaha menemukan cinta sejatinya yang mulai bersemai sejak kecil.
Meskipun Galaksi Kinanthi merupakan karya fiksi, di dalamnya kita disuguhkan kisah yang penuh petualangan dan penuh ‘petuah’ tentang perjuangan mewujudkan cinta dan cita-cita. Bukan sekadar menegaskan bahwa cinta dan cita-cita harus diperjuangkan, melainkan bagaimana kita menakar cinta sejati dan menembus cita-cita.
Memang saya tak sampai menitikan air mata mengikuti kisah Kinanthi, gadis kecil yang lemah ini dijual keluarganya, disiksa bahkan diperkosa ketika menjadi TKW, sampai akhirnya menjadi profesor dan penulis hebat. Namun, ketika keangkuhannya hatinya runtuh oleh cinta yang sederhana, saya harus mengakui hati saya ikut meleleh ketika membaca novel ini.
Jadi, tak heran bila novel ini sudah cetak tiga kali dan mendapat pujian para penulis, seniman, dan tokoh kondang. Saya pikir, Anda pun jangan sampai melewatkan novel ini untuk menemukan semangat dalam memperjuangan cinta dan cita-cita. (wasis wibowo)
Labels:
Buku Baru,
Resensi Buku,
Resensi Buku Baru,
Resensi Novel,
Salamadani,
Tasaro GK
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment