Thursday, 9 July 2009

Resensi Buku Baru : The Lost Arabian Women


Judul Buku : The Lost Arabian Women
Penulis : Qanta A Ahmed
Penerbit : Ufuk Publishing House
Terbit : Mei 2009
Tebal : 615 Halaman


Menyingkap Tabir Perempuan Arab Saudi

MENYEBUT nama Arab Saudi yang terlintas dibenak adalah sebuah negeri yang diperintah dengan sistem monarki berlandasan nilai Islam yang kental. Yang paling menonjol dan terkenal dari negeri gurun pasir ini adalah minyak bumi yang berlimpah dan. Tentunya, keberadaan dua kota suci bagi umat Islam, Mekkah dan Madinah, yang selalu dikunjungi ribuan jemaah haji setiap tahunnya.

Kehidupan masyarakatnya yang jarang terekspose keluar seakan berjalan lurus dan relatif tanpa masalah yang berarti. Namun, belakangan banyak penulis yang menguak kehidupan masyarakat Arab Saudi yang selama ini cenderung tertutup. Bahkan secara detail mengungkapkan fakta-fakta yang tersembunyi dan mencengangkan dalam masyarakat Arab Saudi.

Salah satu hal menarik adalah tentang kehidupan kaum perempuan Arab Saudi yang selama ini seakan begitu diselimuti tabir gelap. Tak salah bila buku The Lost Arabian Women yang diterbitkan Ufuk Publishing House merupakan buku yang menarik untuk dibaca. Apalagi buku setebal 615 halaman ini merupakan kisah nyata yang dialami penulisnya, Qanta A Ahmed, selama setahun tinggal di Riyadh .

Qanta seorang muslimah asal Pakistan yang berkuliah di Inggris dan Amerika Serikat, selama tinggal di Arab Saudi bekerja sebagai dokter spesialis penyakit dalam dan rawat darurat di rumah sakit King Fahad National Guard. Tugasnya itu membuatnya banyak berinteraksi dengan masyarakat Arab Saudi, khususnya kaum perempuannya.

Sebagai perempuan dan berstatus lajang, Qanta pun merasakan ketatnya peraturan yang diterapkan bagi kaum hawa. Meskipun dia seorang muslim, bukan perkara mudah untuk beradaptasi dengan syariat agama yang diberlakukan secara ketat di Arab Saudi.

Kewajiban untuk menggunakan abayah (jilbab) yang menutup seluruh tubuh mungkin bukan hal yang asing bagi Qanta. Namun, cara berinteraksi dengan pasien dan sesama dokter yang didominasi kaum hawa membuatnya harus ekstra sabar. Bagaimana tidak, kebanyakan kaum lelaki di Arab Saudi ternyata tidak mudah untuk sekadar menerima saran, apalagi disanggah pendapatnya oleh seorang perempuan.

Meskipun statusnya seorang dokter spesialis yang berhak memberikan pendapat untuk menanggani seorang pasien. Bahkan melihat kehadiran perempuan di tengah dominasi kaum pria pun sudah menjadi pembicaraan tersendiri. Pun dalam kehidupan sosialnya, Qanta merasa kehilangan jati dirinya sebagai seorang perempuan terpelajar dan mandiri.

Maklum di Arab Saudi tak lazim seorang perempuan lajang tinggal sendiri di sebuah rumah. Mereka pun dilarang keluar rumah sendiri, tak boleh mengendarai mobil, dan berkumpul bersama lelaki yang bukan keluarga atau suaminya. Sebagai seorang lajang, gerak-geriknya pun seakan selalu diawasi oleh polisi norma (Mutawaeen) yang siap mengintrogasi dan menghukum bila kedapatan melanggar aturan.



Perbedaan budaya dan peraturan yang ketat itu membuat Qanta banyak mendapatkan pengalaman yang menakjubkan, mencengangkan, bahkan memuakkan. Misalnya, perempuan muda Arab Saudi yang lebih atraktif menunjukkan hasrat cintanya pada lawan jenis melalui dunia maya. Sebab, dalam keseharian mereka tak mungkin menunjukkan secara langsung perasaannya kepada orang yang disukai.

Diungkapkan pula karakter pria Arab yang terlihat necis, modern, dan terdidik, namun untuk urusan cinta dan mencari jodoh pasrah terhadap pilihan orangtua. Dan, bagaimana seorang pria yang telah berkeluarga dan memiliki beberapa anak, bisa begitu mudah berkeinginan menikah kembali. Anehnya, ada segelintir perempuan Arab yang suka menjadi istri kedua atau ketiga hanya agar bisa lebih bebas beraktivitas di luar rumah.

Namun, Qanta pun mengungkapkan rasa takjubnya ketika menjalankan ibadah haji dan umrah. Termasuk betapa dermawannya orang Arab Saudi untuk menolong orang yang tertimpa kesulitan. Serta perjuangan kaum perempuan Arab Saudi untuk memperoleh pendidikan dan kesetaraan dalam kehidupan sosial.

Karena selama ini perempuan di Arab Saudi selalu dinomorduakan dalam pendidikan dan karier. Sampai ada sebuah anekdot ketika Perang Teluk pecah ada sebuah pesawat tanker Amerika Serikat yang dipiloti seorang perempuan hendak mendarat, namun ketika meminta izin menara pegawas tak mendapat respon apa pun.

Sang pilot perempuan Amerika ini mengira radio komunikasinya rusak karena tak mendapat jawaban, sampai akhirnya pilot lelaki mencoba berkomunikasi dan akhirnya bisa mendapat respon. “Di sini perempuan dilarang mengendarai mobil, makanya ketika mendengar suara perempuan di pesawat mungkin dikira hantu yang berbicara,” ujar rekannya. Untunglah, saat ini perempuan sudah diperbolehkan mengendarai mobil dan internet pada 1998 sudah masuk Arab Saudi.

Buku yang ditulis Qanta ini menyajikan secara apik dan detail gambaran kehidupan sosial masyarakat, khususnya tentang kaum perempuan di Arab Saudi. Mulai dari bagaimana mengungkapkan hasrat cintanya, menggapai cita-cita, meniti karier, dan mendapat kesetaraan status sosial. Temukan secara lengkap kisah-kisah menarik dalam buku ini. (wasis wibowo)

No comments:

Post a Comment