Friday 15 May 2009

Resensi Buku Baru | Miskin Tapi Sombong


Judul : Miskin Tapi Sombong
Penulis : Iwan Sulistiawan
Penerbit : Ufuk Publishing House
Terbit : April 2009
Tebal : 202 Halaman
Harga: Rp39.500


Menertawakan Kesombongan, Mengelitik Kemiskinan

HAKIKATNYA kesombongan yang ditampilkan seseorang atau sekolompok masyarakat pasti akan selalu menghadirkan sikap perlawanan dari orang lain atau kelompok lain. Bisa berupa sikap mengucilkan, mencibir, membenci, bahkan yang paling radikal menimbulkan pemberontakan dan perlawanan frontal.

Begitu pula halnya dengan kemiskinan. Nasib yang tak beruntung dari seseorang atau sekolompok masyarakat ini, bakal menerbitkan iba, belas kasih, bahkan tetesan air mata dari penjuru jagat.

Lalu, apa jadinya bila kesombongan –sebuah sifat yang begitu dibenci seluruh makhluk di muka bumi dan dimurkai Sang Pencipta- malah menghadirkan tawa? Atau kemiskinan yang seharusnya menyayat-nyayat hati menjadi sebuah fenomena yang menggelitik?

Tampaknya hal itu bakal dianggap sebagai sebuah kebohongan atau bahkan fenomena yang tak mungkin terjadi. Namun, semua itu dibuktikan oleh Iwan Sulistiawan yang dijuluki Bung Kelinci melalui buku yang ditulisnya berjudul Miskin Tapi Sombong. Dalam buku mungil berisi 202 halaman yang diterbitkan Ufuk Publishing House ini, menampilkan rekaman anomali kisah kesombongan dan kemiskinan yang terjadi di masyarakat Indonesia.

Ketika seorang yang menunjukkan kesombongannya, malah tampak konyol sehingga mengundang tawa orang di sekitarnya. Seperti pada tulisan berjudul Ditelepon Kawan Lama, mengisahkan seseorang yang ketika menerima telepon sahabat lamanya mengaku sebagai eksekutif dan sedang makan siang menu lobster di restoran mewah bersama kolega bisnis. Padahal temannya menelepon tak jauh dari warung pecel lele tempat dia makan siang sendirian.

Atau pada artikel berjudul Di SD Bilingual. Ketika guru menanyakan hobi siswanya dengan bahasa Inggris, semua tak mau kalah gengsi. Sampai ada seorang siswa yang mengaku hobi main golf, sepak bola, basket, dan hokey. Tentu hobi luar biasa bagi seorang siswa SD, apalagi beberapa olahraga tak ada di Indonesia. Ketika ditanya gurunya bagaimana dia bisa melakukan semua hobinya, dengan enteng dijawab I play them in my playstation.

Begitu juga dengan serangkaian kisah kemiskinan yang menjadi sangat menggelitik. Pada artikel berjudul Nyambi, menceritakan perjuangan sopir omprengan yang mati-matian menghidupi keluarganya setiap sore sampai malam. Padahal pagi harinya, dia harus mengajar menjadi seorang guru.

Kisah lain yang cukup menarik pada tulisan berjudul Jadwal Gajian? yang menceritakan seorang pegawai rendahan yang bergegas ke kantor untuk mengambil uang gajian untuk mengobati anaknya yang sakit. Tak dinyana, sesampai di kantor jadwal gajian ditunda karena alasan sepele, atasannya libur keluar kota.

Banyak lagi kisah yang menggelitik dan unik dalam buku baru ini yang berisi sekitar 80 judul. Anda tak perlu menelaah dalam-dalam untuk memaknai isinya, cukup baca dan nikmati saja. Dijamin terhibur karena isinya mampu membuat Anda terkekeh bahkan air mata meleleh.

Bukan hanya tragedi kemanusiaan yang direkam secara apik dengan bahasa ala pantun yang menarik. Ada pelesetan yang menyerempet-nyerempet cerita soal seks sehingga membuat pipi merona, tanpa jatuh menjadi kisah jorok atau pornografi. Ada pula kisah yang bernuansa religi yang dikemas ringan dan menarik sehingga mampu membuat pembaca tersenyum simpul.

Walaupun tampak sebagai kisah ringan yang menghibur karena menyoroti tingkah masyarakat yang unik dan menggelitik. Sejatinya penulis memahami kondisi masyarakat yang sebenarnya. Bagaimana kemiskinan yang menimpa bukan akibat kemalasan, tapi karena dirancang secara struktur. Ketika kesombongan sengaja dilakukan dalam keadaan sadar, bukan karena sedang lupa diri.

Melalui buku mungil ini, penulis mengajak kita becermin dengan cara yang kocak. Tanpa harus menceramahi, tanpa menggurui, dan tanpa memerintah. Namun, efeknya cukup dalam, bahwa selama ini kesombongan kita merupakan guyonan dan polah kita bak pelawak.

Soal kemiskinan, kita tampak senang membuat orang lain susah dan pura-pura menolong bak dewa turun dari langit. Meski ada juga yang mengenaskan, betapa orang miskin pun ternyata ikut terpapar kesombongan. (wasis wibowo)

No comments:

Post a Comment